Kini tak ada lagi alasan bahwa teknologi panel surya mahal dan sulit diterapkan. Sejumlah peneliti di Amerika Serikat berhasil menemukan teknologi yang memungkinkan pembuatan panel surya yang lentur dan dapat mengikuti bentuk atap.
Terobosan baru di bidang teknologi energi surya ini dilakukan dengan memanfaatkan lapisan film tipis transparan yang biasa digunakan untuk melindungi panel datar televisi dari kelembapan. Film penghalang itu menjadi dasar bagi pengembangan panel surya fleksibel yang dapat dipasang di atas atap seperti genting.
Panel surya lentur, yang disebut fotovoltaik terintegrasi bangunan (BIPV), dapat menggantikan panel surya berbentuk kotak yang umum digunakan pada saat ini. Biasanya panel surya terbuat dari kaca yang kaku atau silikon dan dipasang pada bingkai logam tebal.
Selain ringan dan fleksibel, pemasangan genting panel surya ini jauh lebih murah daripada panel surya yang ada sekarang. Panel lentur ini juga dijamin bisa tahan sampai 25 tahun.
"Banyak sekali ruang yang terbuang percuma di atap rumah, yang sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk membangkitkan tenaga listrik," kata Mark Gross, peneliti senior di Pacific Northwest National Laboratory (PNNL), Departemen Energi Amerika Serikat. "Panel surya fleksibel ini dapat dengan mudah diintegrasikan ke dalam arsitektur bangunan komersial dan perumahan. Selama ini kesuksesan panel surya amat terbatas karena pemasangannya sulit dan mahal."
Para ilmuwan di PNNL menciptakan panel lentur ini dengan mengadaptasi proses pemberian lapisan film penghalang yang biasa dipakai untuk menutupi panel display datar yang menggunakan dioda pemancar cahaya organik atau OLED. Mereka dapat menciptakan panel surya lentur ini berkat kesepakatan kerja sama pengembangan serta riset antara Vitex Systems dan Battelle, yang mengoperasikan PNNL bagi pemerintah federal.
Ilmuwan PNNL mengembangkan teknologi film tipis ini sejak 1990-an. Pada saat itu para peneliti telah menginvestigasi peluang pemanfaatan film tipis itu untuk 15 aplikasi, termasuk tenaga surya. Kini, bersama Vitex, sebuah perusahaan yang bergerak dalam pengembangan film penghalang untuk layar datar, PNNL berusaha memfokuskan aplikasi film tipis itu pada panel surya.
Proses encapsulation dan ultra-barrier film yang diberi nama Barix itu terbukti mampu menjadi penghalang kelembapan yang efektif. Tetapi, para ilmuwan masih harus mencari jalan untuk menerapkan teknologi tersebut pada panel surya yang terbuat dari selenium, tembaga, indium, dan gallium (CIGS), atau cadmium telluride (CdTe).
Kini, sasaran para ilmuwan tersebut adalah menciptakan film penghalang murah. Mereka juga tengah mengevaluasi material substrat untuk panel surya baru yang akan dinamai fotovoltaik atau PV. Baik film maupun substratnya nanti harus mampu bertahan menghadapi keganasan sinar ultraviolet dan elemen natural lain, semisal hujan, sehingga dapat beroperasi sampai 25 tahun.
Untuk menunjang pembuatan panel surya lentur ini, para ilmuwan akan mengembangkan proses manufaktur yang siap untuk diadaptasikan pada produksi skala besar. Jika berjalan lancar, proses ini dapat memangkas ongkos produksi panel surya hingga di bawah US$1 per watt. Rendahnya ongkos produksi ini cukup kompetitif bila dibandingkan dengan US$10 sen per Kwh yang dikenakan oleh perusahaan listrik di negara itu.
"Kami amat bersemangat untuk melanjutkan teknologi Barix yang terbukti kemampuannya sebagai penghalang ke arah produksi massal," kata Martin Rosenblum, wakil kepala operasi dan teknik Vitex. "Bersama PNNL kami akan berupaya menciptakan sebuah produk yang dapat membantu meringankan ketergantungan masyarakat terhadap minyak dan meningkatkan akses terhadap sumber energi terbarukan yang berlimpah, yaitu matahari.
Untuk mengembangkan teknologi tersebut, Departemen Energi Amerika Serikat telah mengucurkan dana sekitar US$ 350 ribu kepada PNNL. Tahun lalu departemen tersebut mengumumkan telah mengalokasikan dana US$ 1,5 juta dari dana Energy Efficiency and Renewable Energy Technology Commercialization Fund untuk proyek yang dapat membantu mengkomersialkan teknologi pengurangan penggunaan energi atau membuka sumber energi terbarukan.
Energi Surya di Dalam Negeri
Pemanfaatan energi surya juga menjadi target utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam pengembangan sistem energi baru dan terbarukan. Kepala LIPI Umar Anggara Djenie menyatakan sebagai negara tropis, matahari hampir setiap hari menyinari Indonesia.
"Matahari adalah material tepat yang dapat dikembangkan untuk mengubah fenomena ini menjadi energi yang dapat disimpan," kata Umar ketika membuka International Workshop on Advanced Material for New and Renewable Energy (AMNRE), Selasa lalu di Putri Duyung Cottage, Kawasan Ancol, Jakarta.
Banyaknya pegunungan di Indonesia juga membawa peluang untuk mengembangkan teknologi micro hydro terutama di daerah terpencil. "Semua jenis energi ini zero pollutant sehingga membantu bumi kita tetap hijau," kata Umar. "Workshop ini adalah perwujudan komitmen LIPI untuk mencari dan mengembangkan material untuk mencari energi baru dan terbarukan."
Deputi Ilmu Pengetahuan Teknik LIPI Syahrul Aiman mengatakan bahwa Pusat Penelitian Fisika LIPI memang tengah mencoba memanfaatkan sinar matahari yang berlimpah. "Pada saat ini kita memang terfokus pada fuel cell, tapi kami sudah menelaah model-model untuk memanfaatkan sinar matahari secara langsung, tidak lagi melalui sel surya yang tergantung dari orang luar," ujarnya.
Salah satu tujuan penyelenggaraan workshop ini adalah untuk mencari poin penting dalam pengembangan sistem energi baru dan terbarukan. LIPI ingin mencari poin penting yang bisa diproduksi di dalam negeri sebelum mengembangkan dan menerapkan bidang material lanjut ini. "Dengan keterbatasan yang ada kita mencari penelitian mana yang dapat dipakai di dalam negeri tanpa membuat kita tergantung pada negara asing," kata Aiman.
Meski sinar matahari berlimpah dan seolah tiada habisnya, hingga saat ini Indonesia belum bisa memanfaatkan energi itu secara maksimal. Potensi energi surya memang besar, tapi teknologi amat mahal karena masih bergantung dari negara luar.
Koordinator kelompok Energi Baru Terbarukan di Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Verina J. Wargadalam menyatakan teknologi sel surya dalam negeri jauh tertinggal dibanding negara tetangga. "Riset energi surya itu butuh dana yang tidak sedikit, harus ada dukungan dana yang amat besar dari pemerintah," ujarnya.
Jika Indonesia ingin mengembangkan energi surya, harus ada manufaktur sel surya harus ada. "Saat ini kemampuan ilmuwan kita baru sampai pembuatan modul solar sel, sedangkan sel surya yang menjadi bahan utamanya masih impor," ujar Verina. "Maka salah satu tujuan kami adalah mendorong industri agar mau terlibat dalam proses riset dan pengembangannya."
Tenaga Listrik dari Sinar Mentari
Banyak tokoh lingkungan menyatakan bahwa masa depan lingkungan bumi bergantung pada tenaga listrik surya. Namun, teknologi yang ada masih terlampau mahal dan belum cukup efisien untuk menggantikan bahan bakar fosil seperti batu bara dan minyak bumi.
Isi sel surya
1.Cahaya melepaskan elektron dari dasar lapisan silikon
2.Elektron lain pindah dari contact grid ke lapisan silikon terbawah
3.Elektron mengalir dari lapisan bawah ke paling atas dan kembali ke bagian dasar menembus contact grid logam
4.Contact grid menarik arus listrik untuk digunakan
-Kaca pelindung
-Pelapis antireflektif mencegah cahaya keluar
-Elektron
-Contact grid logam
Sistem photovoltaic rumah
Daerah dengan cuaca yang cerah dan terus-menerus memperoleh sinar matahari, seperti Indonesia dan negara beriklim tropis lainnya, dapat memanfaatkan teknologi ini dengan baik.
Menghubungkan sistem surya ke jaringan listrik
Koneksi ke perusahaan penyedia listrik setempat seperti PLN memungkinkan pemilik rumah menjual kelebihan tenaga surya dari sistem photovoltaic rumahnya dan membelinya ketika membutuhkan.
Panel surya konvensional seperti ini memakan tempat dan membutuhkan biaya yang cukup tinggi.
-Lebih banyak panel dapat ditambahkan untuk meningkatkan kapasitas yang dihasilkan
-Inverter mengubah arus listrik langsung (DC) dari panel surya menjadi arus listrik bolak-balik (AC) untuk penggunaan peralatan rumah tangga
-Kotak sekring
-Bingkai aluminium
-Baterai menyimpan tenaga untuk digunakan di malam hari dan selama pemadaman listrik
-Meteran tenaga listrik (Koran Tempo: 11 Juni 2009)
Terobosan baru di bidang teknologi energi surya ini dilakukan dengan memanfaatkan lapisan film tipis transparan yang biasa digunakan untuk melindungi panel datar televisi dari kelembapan. Film penghalang itu menjadi dasar bagi pengembangan panel surya fleksibel yang dapat dipasang di atas atap seperti genting.
Panel surya lentur, yang disebut fotovoltaik terintegrasi bangunan (BIPV), dapat menggantikan panel surya berbentuk kotak yang umum digunakan pada saat ini. Biasanya panel surya terbuat dari kaca yang kaku atau silikon dan dipasang pada bingkai logam tebal.
Selain ringan dan fleksibel, pemasangan genting panel surya ini jauh lebih murah daripada panel surya yang ada sekarang. Panel lentur ini juga dijamin bisa tahan sampai 25 tahun.
"Banyak sekali ruang yang terbuang percuma di atap rumah, yang sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk membangkitkan tenaga listrik," kata Mark Gross, peneliti senior di Pacific Northwest National Laboratory (PNNL), Departemen Energi Amerika Serikat. "Panel surya fleksibel ini dapat dengan mudah diintegrasikan ke dalam arsitektur bangunan komersial dan perumahan. Selama ini kesuksesan panel surya amat terbatas karena pemasangannya sulit dan mahal."
Para ilmuwan di PNNL menciptakan panel lentur ini dengan mengadaptasi proses pemberian lapisan film penghalang yang biasa dipakai untuk menutupi panel display datar yang menggunakan dioda pemancar cahaya organik atau OLED. Mereka dapat menciptakan panel surya lentur ini berkat kesepakatan kerja sama pengembangan serta riset antara Vitex Systems dan Battelle, yang mengoperasikan PNNL bagi pemerintah federal.
Ilmuwan PNNL mengembangkan teknologi film tipis ini sejak 1990-an. Pada saat itu para peneliti telah menginvestigasi peluang pemanfaatan film tipis itu untuk 15 aplikasi, termasuk tenaga surya. Kini, bersama Vitex, sebuah perusahaan yang bergerak dalam pengembangan film penghalang untuk layar datar, PNNL berusaha memfokuskan aplikasi film tipis itu pada panel surya.
Proses encapsulation dan ultra-barrier film yang diberi nama Barix itu terbukti mampu menjadi penghalang kelembapan yang efektif. Tetapi, para ilmuwan masih harus mencari jalan untuk menerapkan teknologi tersebut pada panel surya yang terbuat dari selenium, tembaga, indium, dan gallium (CIGS), atau cadmium telluride (CdTe).
Kini, sasaran para ilmuwan tersebut adalah menciptakan film penghalang murah. Mereka juga tengah mengevaluasi material substrat untuk panel surya baru yang akan dinamai fotovoltaik atau PV. Baik film maupun substratnya nanti harus mampu bertahan menghadapi keganasan sinar ultraviolet dan elemen natural lain, semisal hujan, sehingga dapat beroperasi sampai 25 tahun.
Untuk menunjang pembuatan panel surya lentur ini, para ilmuwan akan mengembangkan proses manufaktur yang siap untuk diadaptasikan pada produksi skala besar. Jika berjalan lancar, proses ini dapat memangkas ongkos produksi panel surya hingga di bawah US$1 per watt. Rendahnya ongkos produksi ini cukup kompetitif bila dibandingkan dengan US$10 sen per Kwh yang dikenakan oleh perusahaan listrik di negara itu.
"Kami amat bersemangat untuk melanjutkan teknologi Barix yang terbukti kemampuannya sebagai penghalang ke arah produksi massal," kata Martin Rosenblum, wakil kepala operasi dan teknik Vitex. "Bersama PNNL kami akan berupaya menciptakan sebuah produk yang dapat membantu meringankan ketergantungan masyarakat terhadap minyak dan meningkatkan akses terhadap sumber energi terbarukan yang berlimpah, yaitu matahari.
Untuk mengembangkan teknologi tersebut, Departemen Energi Amerika Serikat telah mengucurkan dana sekitar US$ 350 ribu kepada PNNL. Tahun lalu departemen tersebut mengumumkan telah mengalokasikan dana US$ 1,5 juta dari dana Energy Efficiency and Renewable Energy Technology Commercialization Fund untuk proyek yang dapat membantu mengkomersialkan teknologi pengurangan penggunaan energi atau membuka sumber energi terbarukan.
Energi Surya di Dalam Negeri
Pemanfaatan energi surya juga menjadi target utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam pengembangan sistem energi baru dan terbarukan. Kepala LIPI Umar Anggara Djenie menyatakan sebagai negara tropis, matahari hampir setiap hari menyinari Indonesia.
"Matahari adalah material tepat yang dapat dikembangkan untuk mengubah fenomena ini menjadi energi yang dapat disimpan," kata Umar ketika membuka International Workshop on Advanced Material for New and Renewable Energy (AMNRE), Selasa lalu di Putri Duyung Cottage, Kawasan Ancol, Jakarta.
Banyaknya pegunungan di Indonesia juga membawa peluang untuk mengembangkan teknologi micro hydro terutama di daerah terpencil. "Semua jenis energi ini zero pollutant sehingga membantu bumi kita tetap hijau," kata Umar. "Workshop ini adalah perwujudan komitmen LIPI untuk mencari dan mengembangkan material untuk mencari energi baru dan terbarukan."
Deputi Ilmu Pengetahuan Teknik LIPI Syahrul Aiman mengatakan bahwa Pusat Penelitian Fisika LIPI memang tengah mencoba memanfaatkan sinar matahari yang berlimpah. "Pada saat ini kita memang terfokus pada fuel cell, tapi kami sudah menelaah model-model untuk memanfaatkan sinar matahari secara langsung, tidak lagi melalui sel surya yang tergantung dari orang luar," ujarnya.
Salah satu tujuan penyelenggaraan workshop ini adalah untuk mencari poin penting dalam pengembangan sistem energi baru dan terbarukan. LIPI ingin mencari poin penting yang bisa diproduksi di dalam negeri sebelum mengembangkan dan menerapkan bidang material lanjut ini. "Dengan keterbatasan yang ada kita mencari penelitian mana yang dapat dipakai di dalam negeri tanpa membuat kita tergantung pada negara asing," kata Aiman.
Meski sinar matahari berlimpah dan seolah tiada habisnya, hingga saat ini Indonesia belum bisa memanfaatkan energi itu secara maksimal. Potensi energi surya memang besar, tapi teknologi amat mahal karena masih bergantung dari negara luar.
Koordinator kelompok Energi Baru Terbarukan di Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Verina J. Wargadalam menyatakan teknologi sel surya dalam negeri jauh tertinggal dibanding negara tetangga. "Riset energi surya itu butuh dana yang tidak sedikit, harus ada dukungan dana yang amat besar dari pemerintah," ujarnya.
Jika Indonesia ingin mengembangkan energi surya, harus ada manufaktur sel surya harus ada. "Saat ini kemampuan ilmuwan kita baru sampai pembuatan modul solar sel, sedangkan sel surya yang menjadi bahan utamanya masih impor," ujar Verina. "Maka salah satu tujuan kami adalah mendorong industri agar mau terlibat dalam proses riset dan pengembangannya."
Tenaga Listrik dari Sinar Mentari
Banyak tokoh lingkungan menyatakan bahwa masa depan lingkungan bumi bergantung pada tenaga listrik surya. Namun, teknologi yang ada masih terlampau mahal dan belum cukup efisien untuk menggantikan bahan bakar fosil seperti batu bara dan minyak bumi.
Isi sel surya
1.Cahaya melepaskan elektron dari dasar lapisan silikon
2.Elektron lain pindah dari contact grid ke lapisan silikon terbawah
3.Elektron mengalir dari lapisan bawah ke paling atas dan kembali ke bagian dasar menembus contact grid logam
4.Contact grid menarik arus listrik untuk digunakan
-Kaca pelindung
-Pelapis antireflektif mencegah cahaya keluar
-Elektron
-Contact grid logam
Sistem photovoltaic rumah
Daerah dengan cuaca yang cerah dan terus-menerus memperoleh sinar matahari, seperti Indonesia dan negara beriklim tropis lainnya, dapat memanfaatkan teknologi ini dengan baik.
Menghubungkan sistem surya ke jaringan listrik
Koneksi ke perusahaan penyedia listrik setempat seperti PLN memungkinkan pemilik rumah menjual kelebihan tenaga surya dari sistem photovoltaic rumahnya dan membelinya ketika membutuhkan.
Panel surya konvensional seperti ini memakan tempat dan membutuhkan biaya yang cukup tinggi.
-Lebih banyak panel dapat ditambahkan untuk meningkatkan kapasitas yang dihasilkan
-Inverter mengubah arus listrik langsung (DC) dari panel surya menjadi arus listrik bolak-balik (AC) untuk penggunaan peralatan rumah tangga
-Kotak sekring
-Bingkai aluminium
-Baterai menyimpan tenaga untuk digunakan di malam hari dan selama pemadaman listrik
-Meteran tenaga listrik (Koran Tempo: 11 Juni 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar